Pada dasarnya sastra dan seni bagi
masyarakat Indonesia, khususnya yang hidup di pedesaaan adalah kenyataan
sehari-hari. Seniman dan sastrawan dalam konsep asli masyarakat pribumi di
pedesaan pada hakikatrnya adalah bergerak normal sebagai orang biasa juga,
tetapi yang tahu serta menghayati bahwa selain dimensi-dimensi material dan
kebendaan biasa.
Pengungkapan sastra lisan dalam
masyarakat kita selalu dilaksanakan dengan gairah dan kreativitas yang
menakjubkan, yang tentu saja bersifat estetis, simbolis dan metaforis.
Di daerah pedesaan penguasaan
hasinah sastra lisan dan tradisional masih dianggap sebagai sebuah tolok ukur
kepandaian dan tingginya kedudukan sosial seseorang. Tetapi sebaliknya di
perkotaan dikalangan kaum terpelajar, mendengarkan sastra lisan dari daerahnya
sendiri sudah dianggap ketinggalan zaman. Hal ini berarti penguasaan cipta
sastra atau menikmati karya sastra kini tidak lagi menjadi tolok ukur dalam
menilai kedudukan seseorang di masyarakat.
Pengajaran sastra di sekolah hanya
merupakan bagian kecil dari mata pelajaran bahasa. Pelajaran sastra terbatas
pada uraian definisi teori sastra. Dunia pendidikan kita mengalami “cultural inferiority complex” yang
menganggap bahwa kebudayaan nenek moyang sendiri merupakan sesuatu yang beku,
terbelakang, tak sesuai dengan zaman.
Kerugian yang ditimbulkan jika
tradisi liasan mengalami kematian adalah kita akan kehilangan sebuah
ensiklopedia sebuah masyarakat. Sastra lisan itu diamankan turun-temurun lewat
berbagai tuturan lisan (dongen, mitologi, mitos dsb).
1.3
Sastra Lisan Sebagai Seni dan Ilmu
Fenomena munculnya sastra di
Indonesia menurut Aristoteles ada dua :
1. Karena
manusia mempunyai insting meniru, bahkan sifat dan kebiasaan manusia itu
membedakannya dari binatng.
2. Fakta
adanya sebuah gejala universal bahwa ketika melakukan peniruan tersebut, manusia
merasakan sensasi-sensasi yang indah dan menyenangkan.
Sastra
lisan adalah kreasi estetika dan imajinasi manusia (whell wright, 1965). Sastra
lisan memiliki makna-makna semantic yang diaforik, phora. Tradisi lisan
memiliki sejumlah objek kajian dengan metodologi yang sesuai dengan disiplin
ilmu yang digeluti. Menurut ahli sosiologi tradisi lisan memiliki ciri kolektif
dan harus memiliki daya tahan melewati beberapa generasi. Ahli sosiolog
membedakan tradisi lisan dari kesaksian-kesaksian atau sejarah lisan yang
bersifat personal.
Pentingnya
memahami sastra lisan, terutama dalam masyarakat niraksara, disebabkan karena
jenis sastra ini berfungsi sebagai wadah hikmat tradisional yang mengandumg
konfensi, sistem nilai, adat istiadat dan berbagi norma yang berlaku di
masyarakat.
Pengerian
sastra lisan menurut para ahli adalah :
1. Berbagai
tutur verbal memiliki ciri-ciri karya sastra pada umumnya (puisi, prosa)
2. Bagian
dari tradisi lisan atau yang biasanya dikembangkan dalam budaya lisan berupa
pesan-pesan, cerita-cerita, atau kesaksian-kesaksian dari generasi ke generasi.
3. Sastra
lisan merupakn salah satu mentifact (fakta kejiwaan) yakni fakta yang terjadi
dalam jiwa, pikiran atau kesadaran manusia yang dituturkan dan diwariskan
melalui bahasa lisan.
1.4
Sastra dan Kebudayaan Lisan
Perbedaan antara komunikasi informasi tertulis
dan lisan sangat besar diantaranya indera penglihatan dan indera pendengaran. Penglihatan
bersifat memecah belah dan serentak dengan itu terjadi indifidualisasi
sedangkan pendengaran bersifan mempersatukan. Perbedaan antara komunikasi lisan
dan tulis itu perlu dipahami mengingat implikasinya yang sangat besar terhadap
penampilan peradaban manusia pada umumnya.
Tiga
model kebudayaan ditinjau dari sudut situasi komunikasi yaitu :
1.
Kebudayaan kelisanan primer
2.
Kebudayaan keberaksaraan
3.
Kebudayaan kelisanan sekunder
1.5
Kerangka Sastra Lisan di Indonesia
Menurut para ahli bahwa khusus untuk
teori sastra Indonesia tidak perlu dan tidak baik diadakan pemisahan antara
sastra lisan dan tulis. Menurut Teeuw, penggabungan sastra tulisan dan lisan
itu perlu dan peril dijadikan frame of reference dalam memahami sastra se-
Indonesia. Empat faktor yang mendasari kesimpulan Teeuw :
a.
Ada kesamaan hakiki dalam struktur dam
motif antara sastra lisan dan sastra tulisan.
b.
Prinsip variasi sebagai hal yang
essensial dalam sastra lisan, ternyata relevan pula untuk sastra tulis di
Indonesia.
c.
Ada kaitan sastra lisan dan sastra tulis
dalam fungsi sastra sebagai performing art.
d.
Dalam sastra Indonesia modern, ternyata
fungsi sastra sebagai performing art
masih menduduki peranan yang penting.
1.6
Apa Sastra Lisan itu ?
Banyaknya pernyataan para ahli apa
itu sastra lisan, menyebabkan kita sebagai orang awam sulit memahami apa sastra
itu ?
Mazhab
Formalis Rusia adalah salah satu perintis ilmu sastra modern. Menurut mereka,
yang menjadikan sebuah teks sebagai wacana satra bukanlah aspek isi melainkan
karena wacana tersebut mengfungsikan ‘sarana-sarana’ kesastraan. Pedoman pra
pemahaman menurut Jauss:
1. Genre,
bentuk dan tema dalam apa yang disebut sebagai karya sastra.
2. Pengetahuan
mengenai oposisi antara bahasa sastra dan bhasa sehari-hari.
1.7 Ciri-ciri Sastra Lisan
Sastra lisan adalah bentuk-bentuk
kesusastraan atau seni sastra yang diekspresikan secara lisan. Ciri-ciri sastra
lisan menurut Rusyana:
1. Sastra
lisan tergantung kepada penutur, pendengar, ruang dan waktu
2. Antara
penutur dan pendengar terjadi kontak fisik
3. Bersifat
anonim
Empat ciri utama sastra lisan:
1. Sastra
lisan adalah teks sastra yang dituturkan secara lisan
2. Sastra
lisan dalam berbagai bahasa daerah
3. Sastra
lisan selau hadir dalam versi-versi dan varian-varian yang berbeda
4. Sastra
lisan bertahan secara tradisional dan disebarkan dalam bentuk standar/relatif
tetap waktu yang cukut lama.
5. Sastra
lisan memiliki konvensi dan poetikanya sendiri
Teori-Teori
Analisis Sastra Lisan: Madzab Finlandia dan Teori Parry-Lord
4.1
Madzab Finlandia: Historis Komparatif
4.1.1
Latar Belakang
Aliran ini berkembang di Finlandia,
berpusat Helsinki. Aliran ini mengembangkan teori dan metode historis
komparatif yang bersifat sistematik. Krohn dan Arne adalah pelopor studi
historis komparatif.
4.1.2
Cara kerja penelitian
Puluhanribu cerita rakyat dari
seluruh dunia dikumpulkan, diklasifikasikan dan disusun sedemikian rupa. Untuk
penggolongan cerita rakyat, madzab ini menggunakan dua kriteria dasar yaitu
type dan motif. Type berarti cerita tersebut digolongkan berdasarkan tipe atau
jenis.
Aarne
Thompson mengklasifikasikan dongeng berdasarkan tipenya yaitu :
1. Animales
tales (dongeng binatang)
2. Tales
of magic ( dongeng tentang hal-hal magis)
3. Religious
tales ( dongeng keagamaan)
4. Realistic
tales atau Novelle ( dongeng realistic )
5. Tales
of the stupid orgre/giant/devil ( dongeng tentang raksasa atau hantu yang
bodoh)
6. Anecdotes
and jokes ( anekdot dan lelucon)
7. Formula
tales ( dongeng yang memiliki formula )
Motif didefinisikan
sebagai anasir terkecil dalam sebuah cerita yang mempunyai daya tahan dalam
tradisi. Ada beberapa motif yang ditemukan dalam berbagai cerita rakyat
diantaranya :
1. Motif
berupa benda ( tongkat wasiat,lampu ajaib, dll )
2. Motif
berupa hewan yang luar biasa (kuda terbang, singa berkepela manusia )
3. Motif
berupa konsep ( larangan atau tabu )
4. Motif
berupa suatu kebiasaan ( ujian ketangkasan, minum alcohol )
5. Motif
tentang penipuan terhadap suatu tokoh ( raksasa, hewan )
6. Motif
yang menggambarkan tipe orang tertentu (abu nawas yang pandai, si pander yang
selalu sial )
Jika ditemukan dua motif yang sama pada
dua kelompok etnis yang berbeda, maka mereka mengajukan dua pandangan teoritis
yang berbeda.
1. Teori
monogenesis : teori yang mengatakan bahwa motif tertentu pasti berasal dari
suatu daerah
2. Teori
polygenesis : teori yang berpandangan bahwa motif-motif tersebut merupakan
penemuan-penemuan tersendiri yang tidak ada kaitannya atau sejajar.
4.1.3
Kelebihan dan Kelemahan
Kelemahan mazhab finlandia
a. Tidak
mudah melakukan klasifikasi terhadap berbagai cerita rakyat berdasarkan tipe
dan motif
b. Kesimpulan
tentang tua mudanya dan asli tidaknya varian tertentu sebuah cerita rakyat pun
sangat sukar di buktikan.
Kelebihan mazhab
Finlandia
a. Buku-buku
mereka masih tetap mempunyai nilai sebagai acuan yang berharga dalam melakukan
studi sastra rakyat.
4.2 Teori Parry- Lord :
Penciptaan sastra lisan
4.2.1 Latar Belakang
Penciptaan sastra lisan diilhami oleh ilmu
sastra klasik barat, khususnya penciptaan puisa Odysee dan Ilias karya Homerus.
Menurut Parry Formula adalah sekelompok kata yang secara teratur digunakan
dengan kondisi metris yang sama untuk mengekspresikan sebuah gagasan yang
esensial.
Menurut
teori Parry- Lord, proses penciptaan sastra lisan dapat dicermati dari cara
mereka memnfaatkan persediaan formula yang siap pakai sesuai dengan konvensi
sastra yang berlaku. Jika diringkas teori Parry dan Parry- Lord tentang
penciptaan sastra lisan itu mencakup aspek-aspek: formula dan ungkapan
formulaik, tema-tema atu kelompok gagasan, dan teori penciptaan atu pewarisa.
4.2.2
Formula dan Ungkapan Formulaik
Formula adalah kelompok kata yang
secara teratur dimanfaatkan dalam kondisi matra yang sama untuk mengungkapkan
satu ide pokok. Ungkapan formulaik adalah larik atu separuh larik yang disusun
berdasarkan formula. Baik formula maupun ungkapan formulaik merupakan
unsur-unsur yang siap kakai dalam arti setiap kali tukang cerita bertutur
unsur-unsur tersebut pasti dipergunakan.
4.2.3
Tema atu Kelimpok Gagasan
Dalam jagat sastra lisan Lord
menyebutkan bahwa ada sejumlah ide atu kelompok-kelompok ide yang secara
teratur digunakan dalam penceritaan. Menurut beliau kelompok-kelompok ide itu
sebagai tema-tema atau themes.
Untuk mengungkapkan yang terdapat
dalam sebuah sastra lisan, seorang peneliti harus membandingkan versi-versi
sebuah cerita yang sama atupun beberapa cerita yang berbeda untuk menunjukan
manakah adegan-adegan siapa pakai ataupun deskripsi bagian-bagian cerita yang
disiapkan dalam konvensi.
4.2.4
Prosedur Pewarisan
Teknik-teknik penciptaan dan cara
tradisi itu diturunkan penyair lisan pada murid-murid atau pengikutnya. Menurut
Perry Lord, cerita-cerita tidak diceritakan turun-temurun melainkan dibawakan
secara sepontan dan sesuai minat pendengar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar