BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Definisi
Linguistik sebagai ilmu kajian bahasa memiliki
berbagai cabang. Cabang-cabang itu di antaranya adalah fonologi, morfologi,
sintaksis, semantik, pragmatic dsb. Berbeda dengan fonologi, morfologi,
sintaksis, dan semantik yang mempelajari struktur bahasa secara internal,
pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara
eksternal, yakni bagaimana satuan kebahasaan itu digunakan di dalam komunikasi.
Perhatikan contoh kalimat (1) dan (2) di bawah ini :
(1)
Prestasi
kerjanya yang bagus membuat ia dapat
diangkat untuk masa jabatan yang kedua.
(2) Presiden itu sedang menuruni tangga pesawat.
Kata
bagus secara internal bermakna ‘baik’
atau ‘buruk’, dan kata presiden secara
internal bermakna ‘kepala negara’.
Secara
eksternal, bila dilihat dari penggunaannya, kata bagus tidak selalu bermakna ‘baik’ atau ‘tidak buruk’. Begitu pula presiden tidak selalu bermakna ‘kepala
negara’, seperti terlihat dalam dialog (3) dan kalimat (4) di bawah ini :
(3) Ayah :
Bagaimana ujian matematikamu?
Anton : Wah, hanya dapat 45, Pak.
Ayah : Bagus,
besok jangan belajar. Nonton terus saja.
(4) Awas presidennya
datang!
Kata
bagus dalam (3) tidak bermakna ‘baik’
atau ‘tidak buruk’, tetapi sebaliknya. Sementara itu, bila kalimat (4)
digunakan untuk menyindir, kata presiden
dalam kalimat (4) tidak bermakna ‘kepala negara’ tetapi bermakna ‘seseorang
yang secara ironis pantas mendapatkan sebutan itu’.
Dari
uraian di atas terlihat bahwa makna yang ditelaah oleh pragmatik adalah makna
yang terikat konteks, dan makna yang menjadi kajian pragmatik adalah maksud
penutur (speaker meaning) atau (speaker sense).
Menurut Leech (1983, 13) pragmatik sebagai cabang ilmu
bahasa yang mengkaji penggunaan bahasa berinttegrasi dengan tata bahasa yang
terdiri dari fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik.
1.2 Sejarah dan
Latar Belakang
Pragmatik
merupakan bagian dari ilmu tanda sebenarnya telah dikemukakan sebelumnya oleh
seorang filsuf yang bernama Charles Morris. Menurut Morris, dalam kaitannya
dengan ilmu bahasa, semiotika (semiotics) memiliki tiga cabang, yakni
sintaktika ‘studi relasi formal tanda-tanda’, semantika ‘studi relasi tanda
dengan penafsirannya’ (Levinson, 1983, 1). Akan tetapi pragmatik yang
berkembang saat ini yang mengubah orientasi lingustik di Amerika pada tahun
1970-an sebenarnya diilhami oleh karya-karya filsuf seperti Austin (1962) dan
Searle (1969) yang termahsyur dengan tindak tuturnya (Kaswanti Purwo, 1990, 11;
Leech, 1983, 2).
1.3 Perbedaan
Titik Sorot Keberatan Pragmatik dan Sosiolinguistik Terhadap Linguistik
Struktural
Yang
menjadi keberatan kaum pragmatisi adalah analisis-analisis kaum struktural yang
mengabaikan konteks tuturan. Diabaikannya konteks tuturan menyebabkan aliran
struktural gagal menjelaskan berbagai masalah kebahasaan. Salah satu di
antaranya adalah masalah kalimat anomali (Cf. Fromkin & Rodman, 1990, 190)
Kalimat
anomali adalah kalimat yang secara kategorial gramatikal, tetapi secara
semantik melanggar kaidah kolokasi. Dengan kata lain, kalimat anomali mematuhi
kaidah leksemik, tetapi melanggar kaidah sememik (Lamb, 1969).
Sementara
itu, yang dirasakan memberatkan oleh kaum sosiolinguis adalah konsep masyarakat
homogen (homogenous speech community) yang dipandang terlalu abstrak dan ideal
(Wardaugh, 1986, 113)
I.4 Tujuan Penulisan
Makalah ini dibuat untuk mengetahui strategi-strategi
yang tepat dalam menerapkan parameter pragmatik
BAB II
PEMBAHASAN
Semakin panjang
bentuk tuturan semakin besar keinginan penutur untuk berlaku sopan kepada lawan
tuturnya. Semakin maksimal keuntungan, penghormatan, kecocokan, dan kesimpatian
yang diungkapkan di dalam tuturan semakin sopan ujaran yang terbentuk. Demikian
pula sebaliknya. Bila diamati secara seksama, penutur sebenarnya tidak
semena-mena mengutarakan bentuk tuturan-bentuk tuturan yang memiliki tingkat
kesopanan yang berbeda-beda. Misalnya tuturan Apakah anda bersedia mengepel lantai ini? tidak akan dipilih oleh
tuan rumah untuk memilih pembantunya. Dia dalam hal ini akan lebih senang
menggunakan pellah lantai ini! yang bentuknya kurang sopan. Justru pemilihan
bentuk yang lebih panjang dalam hal ini akan tidak mengenakan pembantunya.
Hal-hal yang mengatur strategi pemilihan bentuk-bentuk yang memiliki tingkat
kesopanan yang berbeda ini disebut parameter pragmatik (pragmatic parameter). Parameter pragmatik harus diamati secara
cermat agar lawan tutur tidak merasa kehilangan muka (face).
Menurut Goffman
(Wardaugh, 1986; Allan, 1986) dalam percakapan yang kooperatif para peserta
percakapan menerima ‘muka’ yang ditawarkan oleh lawan bicaranya. Adapun yang
dimaksud dengan ‘muka’ dalam hal ini adalah citra
diri (self image) yang harus
diperhatikan oleh lawan tutur. ‘Muka’ yang ditawakan itu berbeda-beda
bergantung pada situasi pembicaraan. Pada suatu saat ‘muka’ itu sebagai teman
dekat, pada saat lain sebagai guru. Pada suatu saat ‘muka’ itu menawarkan
kegembiraan dan pada saat lain mencerminkan kemarahan dan sebagainya. Jadi,
peserta pertuturan harus menafsirkan dan memahami kata-kata yang diutarakan
oleh lawan tuturnya sesuai dengan ‘muka’ yang ditawarkannya. Untuk ini Laver
dan Trudgill (1979) menyamakan ‘muka’ ini dengan keadaan afektif (affective state) dan profil identitas (profile of identity) penutur. Lawan
tutur harus menafsirkan wajah yang ditawarkan kepadanya. Untuk ini Laver dan
Trudgill mengibaratkan seorang pendengar sebagai seorang detektif karena:
“The
listener not only has to establish what it was that was said, but also has to
construct from assortment of clues, the affective state of the speaker and a
profile of his identity.”
Muka yang ditawarkan penutur
memiliki dua kemungkinan, yakni muka positif (positive face) dan muka negative (negative face). Muka positif terwujud bila ide-ide, atribut, milik,
prestasi, tujuan dan sebagainya yang dimiliki oleh seseorang dihargai oleh
lawan tuturnya. Muka negatif adalah keinginan seseorang untuk tidak diserang,
diejek, atau dihinkan oleh lawan tuturnya. Dalam konteks pemakainan bahasa dua
aspek ini dapat menimbulkan sesuatu yang tidak mengenakan bila pemuasan salah
satu aspek mengandung pelanggaran terhadap yang lain. Seorang pembantu akan
merasa terhina bila majikannya berkata bersediakah anda menyapu lantai ini?
karena wajah positif yang ditawarkan tuannya tidak sesuai dengan atribut,
prestasi, atau milik lawan bicaranya.
Brwon dan
Levinson (1978) menunjukan secara meyakinkan bahwa penutur mempergunakan
strategi linguistik yang berbeda-beda di dalam memperlakukan secara wajar lawan
tuturnya. Dalam hal ini Brown dan Levinson mengidentifikasikan empat strategi
dasar, yakni: strategi 1 kurang sopan, strategi 2 agak sopan, strategi 3 sopan,
dan strategi 4 paling sopan. Keempat strategi ini harus dikaitkan dengan tiga parameter
pragmatik berikut:
1.
Tingkat jarak sosial (distance rating) antara penutur dan
lawan tutur yang ditentukan berdasarkan parameter perbedaan umur, jenis
kelamin, dan latar belakang sosio-kultural.
2. Tingkat
status sosial (power rating) yang
didasarkan atas kedudukan yang asimetrik antara penutur dan lawan tutur dalam
konteks pertuturan. Di ruang praktek
seorang dokter memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari seorang polisi.
Akan tetapi, di jalan raya polisi dapat menilangnya bila sang doktermelakukan pelanggaran.
Dalam konteks yang terakhir ini polisi memiliki status sosial yang lebih
tinggi.
3. Tingkat
peringkat tindak tutur (rank rating)
yang didasarkan atas kedudukan relatif tindak tutur yang satu dengan tindak
tutur yang lain. Misalnya di dalam situasi normal meminjam mobil kepada
seseorang mungkin dipandang tidak sopan atau tidak mengenakan. Akan tetapi, di
dalam situasi yang mendesak (darurat) semisal untuk mengantar orang yang
melahirkan tindakan itu wajar-wajar saja. Sehubugan dengan penerapan strategi-sarategi
di atas, dicontohkan aneka bentuk tuturan yang biasa digunakan untuk menukarkan
uang bila hendak membeli sesuatu melalui slot machine atau melakukan aktivitas
lain dengan alat yang serupa.
Strategi
1 kurang sopan digunakan kepada
teman akrab: Got any change
Strategi
2 agak sopan digunakan kepada teman
yang tidak (belum) begitu akrab: Hey
Adam, have you got any change?
Strategi
3 lebih sopan digunakan kepada
orang yang belum dikenal: I am sorry to
trouble you, but do you buy any chance have change of a dollar.
Strategi
4 paling sopan kepada orang yang
berstatus sosial lebih tinggi: It’s so
embarrassing, but I don’t have enough change.
Kejanggalan akan terjadi bila
penutur menerapkan strategi-strategi di atas secara tidak tepat. Bila penutur
menggunakan strategi 3 atau 4 kepada teman akrab, maka ia akan memperlakukan
teman akrabnya itu sebagai orang yang belum pernah dikenalinya. Sebaliknya,
bila ia menerapkan strategi 1 dan 2 kepada orang yang status sosialnya lebih
tinggi, ia memperlakukan lawan tuturnya sebagai teman dekat sehingga ucapannya
akan dirasakan merendahkan. Kenyataan ini menunjukan bahwa pemakainan bahasa
harus memiliki strategi itu secara jitu. Pemilihan strategi yang terlelu tinggi
atau terlalu rendah akan membawa akibat yang sama buruknya, seperti kata Brown
dan Levinson berikut ini:
“Thus
the strategy S you said to mitigate a face threatening act should be the one
appropriate to the degree of face threat; too high a numbered strategy is usually
just as bad as too low a numbered
strategy.”
Dengan pernyataan di atas dapat
diterangkan bahwa janggalan tuturan sang majikan Apakah anda bersedia mengepel lantai ini? pada awal uraian
disebabkan oleh pemilihan strategi yang terlalu tinggi untuk diberikan kepada
sang pembantu. Seharusnya strategi yang lebih rendahlah yang digunakan, seperti
Pel lantainya! Lantainya kotor sekali, dan
sebaginya.
BAB III
KESIMPULAN
Strategi yang
tepat dalam menerapkan parameter pragmatik antara lain ada empat strategi, strategi
1 kurang sopan, strategi 2 agak sopan, strategi 3 sopan, dan strategi 4 paling
sopan. Keempat strategi ini
harus dikaitkan dengan tiga parameter pragmatik berikut: tingkat jarak sosial (distance rating), tingkat status sosial (power rating) dan tingkat peringkat tindak
tutur (rank rating)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar